Belakangan ini cuaca panas tengah menyerang di berbagai penjuru dunia, tak terkecuali Indonesia. Cuaca panas ditambah dengan kemacetan yang melanda menjadi faktor yang membuat kita menjadi emosi.
Rupanya, hal ini telah dibuktikan dengan dua penelitian terbaru yang dimuat dalam Jurnal “The Lancet” pada September 2022.
Hasil studi pertama yang dilakukan oleh peneliti dari Postdam Institute for Climate Impact Research, menemukan jumlah ujaran kebencian di media sosial meningkat 22 persen saat suhu udara melebihi 41 derajat Celcius. Hal ini didasari setelah para peneliti menggunakan mesin algoritma dan menemukan sebanyak 75 juta cuitan ujaran kebencian dari empat miliar cuitan yang ada di Amerika Serikat periode tahun 2014-2020.
“Angka ini menunjukkan batas kemampuan kita untuk beradaptasi dengan suhu ekstrem,” tutur Leonie Wenz selaku peneliti di Postdam Institute, dikutip dari VOA Indonesia, Kamis (20/10/2022).
Selanjutnya, hasil studi kedua yang dilakukan oleh mahasiswa S3 Harvard University ini menemukan adanya aduan kasus pelecehan dan diskriminasi di tempat kerja. Lebih dari 800 ribu aduan dilayangkan ke Komisi Kesempatan dan Kesetaraan Kerja (EEOC) yang diajukan oleh karyawan layanan pos Amerika Serikat antara tahun 2004 sampai tahun 2019.
Kasus pelecehan dan diskriminasi naik sekitar lima persen setiap suhu melebihi 32 derajat Celcius dibandingkan saat suhu berkisar antara 15 hingga 21 derajat Celcius.
“Mengurangi paparan lingkungan terhadap suhu ekstrem, baik lewat kebijakan iklim atau beragam adaptasi lain, dapat menurunkan jumlah diskriminasi yang dialami pekerja,” ujar Ayushi Narayan selaku peneliti Harvard University.
Lebih lanjut, tubuh manusia menghasilkan adrenalin sebagai respons terhadap panas yang berlebihan, yang dapat menyebabkan agresi atau bentuk perilaku agresif. Selain itu, suhu tinggi juga dapat meningkatkan detak jantung, testosteron, dan reaksi metabolisme lainnya.
Hayo, siapa nih yang akhir-akhir ini suka marah-marah? Wah, bisa jadi cuaca panas penyebabnya.
Source Photo from UCSB