Kisah perburuan paus di Desa Lamalera, Pulau Lambata, Nusa Tenggara Timur, kembali diangkat oleh konservasionis, Noit Pippo di Twitternya (/@noitpippo). Kisah ini ia dapatkan saat ke Desa Lamalera dan tinggal di seorang pemburu paus.
Noit bercerita, tradisi perburuan paus di Desa Lamalera sudah berlangsung lebih dari 500 tahun. Jenis paus yang biasa mereka tangkap adalah paus sperma dan orca whale.
Bagi warga Lamalera, paus adalah berkah yang dikirim Tuhan untuk menjaga kehidupan dan kelestarian budaya. Konon, nenek moyang mereka dibawa oleh ikan paus. Penangkapan paus pun menjadi sebuah ritual yang agung bagi warga Lamalera dan diteruskan secara turun temurun sejak abad ke-16.
Sayangnya, tradisi budaya ini bertolak belakang dengan upaya perlindungan paus yang digencarkan kelompok pegiat hidupan liar. Perdebatan antara kelompok pegiat hidupan liar dan masyarakat Lamalera yang ingin mempertahankan budayanya pun masih terjadi.
Berdasarkan data IUCN pada 2018, hampir semua spesies paus dalam status terancam punah karena populasinya terus menurun. Pemerintah pun telah menetapkan paus dan lumba-lumba sebagai hewan yang dilindungi dan dilarang untuk diburu.
Walaupun begitu, pemerintah tetap memberi izin bagi warga Lamalera untuk menangkap paus dengan skala kecil. Warga Lamalera sendiri tetap ingin mempertahankan budayanya untuk mengajarkan perbedaan antara keperluan dan kerakusan manusia.
Warga Lamalera menangkap ikan paus dengan cara tradisional yang tidak kejam dan membagikan hasil tangkapannya untuk kebutuhan pangan dan obat-obatan penduduk setempat. Jadi bukan untuk keperluan komersil.
Nah, kalau menurut My Muse sendiri gimana soal perdebatan ini?
Image Source from gpriority.co.id