Maraknya gerakan untuk mencegah gangguan mental menimbulkan berbagai banyak komentar. Ada yang menanggapi dengan positif, tapi gak sedikit yang memberikan tanggapan negatif. Padahal, gerakan ini penting untuk menanggulangi remaja Indonesia yang memiliki masalah kesehatan mental.
Bayangin aja, jumlah remaja yang mengalami masalah kesehatan mental bisa mencapai 15,5 juta. Sementara, remaja yang mau mencari bantuan konseling hanya 2,6 persen. Penyebabnya beragam, bisa karena adanya denial, merasa malu untuk bercerita meskipun dengan ahlinya, hingga yang paling utama adalah banyaknya hujatan terhadap orang-orang yang memiliki masalah kesehatan mental.
Mereka juga gak segan-segan menilai kalau gen-z terlalu lembek dan gak bisa menghadapi permasalahan. Padahal sebenarnya, setiap generasi baik milenial atau boomers memiliki tantangannya sendiri. Namun, seperti sudah jadi hal yang lumrah kalau generasi yang lebih tua akan selalu menganggap generasi di bawahnya lembek.
“Generasi dulu sama saja, cuma rapuhnya di bagian yang lain. Situasinya sebenarnya sama. Senior yang kelahiran 70-an, 80-an, saat hadapi masalah di masa lalu, ya stroberi (generation) juga,” tutur Dr. dr. Ronny Tri Wirasto, Sp. KJ selaku psikiater dari Universitas Gadjah Mada (UGM), dikutip dari VOA Indonesia, Senin (20/3/2023).
Bedanya, dulu belum ada media sosial yang bisa mengekspos berbagai isu, permasalahan, dan perdebatan dengan mudah. Apalagi, sekarang juga jadi banyak permasalahan yang dikemas dengan istilah-istilah baru. Jadinya, bikin orang-orang gampang banget menilai kalau gen-z adalah generasi lembek.
Terlebih, dari dulu juga udah ada sandwich generation kok. Akibat terlalu banyak orangtua yang melemparkan beban ke anak-anak mereka. Kalo sekarang, banyak anak yang pikirannya sudah lebih terbuka jadi merasa lebih mudah untuk melayangkan protes jika diminta demikian. Ya, meskipun ada sebagian anak yang gak bisa menolak, sih.
Source Photo from Movie/Cek Toko Sebelah